― article by Rizki Aulia (XI-3)
“Seberapa banyak dari hidupmu yang bisa kami dapatkan darimu?” Sebuah pertanyaan dari media sosial pada
era modern ini. Setiap unggahan, tweet,
hingga cerita merupakan bagian dari
hidup manusia yang diberikan secara cuma-cuma kepada orang di balik layar. Bahkan saat jari yang
menggulir layar berhenti sejenak, memberikan suka atau komentarnya, jari itu sedang diawasi. Kini, hampir seluruh
lapisan masyarakat luput dengan fakta
itu, berkelana jauh di sosial media untuk membagikan hidupnya sendiri.
Masyarakat itu sendiri terbagi
menjadi tiga generasi
yang aktif dalam bersosial media, yakni Boomer,
Milenial, dan Generasi Z.
“Facebook menemukan bahwa mereka
dapat membelokkan perilaku dan emosi dunia yang
sebenarnya tanpa memicu kesadaran penggunanya.” Dikutip dari serial
dokumenter Netflix, Social
Dilemma. Facebook sendiri diluncurkan pada tahun 2004, awal mula dari kehidupan bermedia sosial. Seperti semut
yang mendekati gula, Facebook diramaikan oleh
hampir seluruh kalangan.
Lambat laun berkembangnya media sosial, orang-orang meninggalkan Facebook untuk melihat dunia yang lebih baru. Akan
tetapi, terdapat generasi Boomer yang lebih banyak untuk menetap
di Facebook. Hal itu disebabkan oleh laman Facebook yang lebih mudah digunakan dan
minimnya pembaruan sehingga tidak perlu lagi
mempelajari fitur baru. Maka dari itulah kebanyakan Boomer dan beberapa
Milenial memilih untuk tetap di
Facebook.
“Kami ingin memikirkan bagaimana caranya memanipulasimu secara psikologis secepat mungkin.” Media sosial secara tersirat berusaha membuat penggunanya bergantung pada mereka. Dua tahun setelah Facebook, tepatnya pada tahun 2006, Twitter didirikan oleh Jack Dorsey. Muka Twitter saat itu masih termasuk sederhana, mirip dengan Facebook sehingga banyak pengguna yang bermigrasi menggunakan Twitter. Pembaruan Twitter cenderung lebih tertata dan tidak berubah secara signifikan sehingga generasi Boomer memilih untuk bergabung ke Twitter, begitu pula dengan mayoritas generasi Milenial. Namun, lahirnya media sosial yang lain membuat orang-orang tertarik dan terus aktif berganti media sosial, bahkan Twitter sempat sepi karena beberapa penggunanya memilih untuk berpindah media sosial. Setelah gelombang sepinya selesai, Twitter kembali diramaikan oleh penggemar K-Pop yang mendapatkan sumber informasi dan unggahan terbaru idolanya. Hingga sekarang, Twitter kembali berkicau, fitur terus bertambah dan pengguna yang mulai kembali ke Twitter. Tidak hanya generasi Boomer dan Milenial, sekarang ini Twitter sudah ikut disesaki oleh Generasi Z.
“Media sosial mulai menggali lebih dalam dan
lebih dalam ke kepala dan mengambil alih
harga diri dan identitas anak-anak.” Kurang lebih merupakan gambaran dari
Instagram. Sejak kehadirannya pada
2010 di iOS kemudian 2012 di Android, Instagram dipenuhi oleh Generasi Z. Bagaimanapun, Instagram
diluncurkan saat Generasi Z sedang menjelajahi dunia teknologi di bawah pengawasan generasi
Milenial. Fitur orisinilnya termasuk sederhana, tidak
jauh berbeda dengan Facebook, fungsi utamanya adalah untuk mengunggah foto dan video. Di sisi lain, Instagram
berkembang dengan pesat, bukanlah tempat yang mudah dipelajari untuk generasi Boomer.
Namun, bagi Milenial
dan Generasi Z perubahan-perubahan
dengan fitur baru adalah apa yang mereka butuhkan. Semakin maju fiturnya,
Instagram tidak hanya digunakan untuk mengunggah foto diri sendiri
lagi, melainkan sudah menjadi
area promosi acara hingga tempat berdagang secara global. Akan tetapi, Instagram perlahan-lahan menjadi
tempat yang tidak aman bagi Generasi Z. Jumlah
suka, jumlah komentar,
hingga penonton cerita membuat sejumlah
Generasi Z mempertanyakan kelayakan diri mereka
sendiri.
“‘Mengetik…’
Bukanlah untuk menghemat
waktumu tapi untuk tetap
membuatmu terhubung lebih lama.”
Di setiap jejaring sosial, selalui dijumpai fitur mengirim pesan, yang dikenali
sebagai Direct Message (DM).
Bagaimanapun, DM hanya digunakan untuk mengobrol
secara informal, yang fiturnya juga terbatas. Kemudian, BlackBerry Messanger yang sempat digunakan secara massal
tumbang. Posisinya lalu digantikan oleh WhatsApp Messanger. Secara fitur dan cara pemakaian, WhatsApp lebih
lengkap dan mudah digunakan. Terdapat fitur mengirim pesan, bertelepon, hingga panggilan video di WhatsApp,
yang memudahkan ketiga
generasi untuk saling berkomunikasi secara praktis.
“Jika kau tidak membayar, maka kau adalah
produknya.” Kemajuan teknologi ini terhitung pesat namun juga mengerikan. Di setiap perusahaan, baik Facebook, Twitter,
Instagram, bahkan WhatsApp,
menjual belikan data penggunanya adalah hal yang biasa. Seringkali manusia khawatir dengan
kebocoran data pribadi, tapi lupa bahwa mereka sendiri yang membeberkan kepribadian mereka secara gratis. Tiga generasi
dalam tiga aplikasi yang berbeda,
disamakan oleh kemauan untuk memberikan data pribadi mereka.
Komentar
Posting Komentar