Langsung ke konten utama

Hujan

 Cerpen oleh Alexa (CIRRUS 47)


Rintik hujan membasahiku

Menemani malam sunyiku

Tak ada payung yang melindungku

Hanya ada hujan dan aku


Malam itu, aku berjalan pulang menuju rumahku. Matahari sudah lama tenggelam, dan rintik hujan mulai membahasiku. Aku berlari menuju rumah dan saat aku sampai, aku membuka pintu secepat mungkin. Aku masuk ke dalam dan mengunci pintu rumah. 


“Ibu, ayah, aku pulang.”


Beberapa menit setelah aku membersihkan diri, aku berjalan menuju meja belajarku dan mulai belajar, bahkan setelah seharian aku belajar mati-matian. Aku memakai headphone kesayanganku dan memutar playlist favoritku. Ada satu lagu yang saat ini aku putar terus-menerus. Mengapa? Entahlah, mungkin karena memang liriknya yang sendu membuatku terlarut dalam lagu itu dan dalam emosiku.


What happened to the wonderful adventures

The places I had planned for us to go?

(Slipping through my fingers all the time)

Well, some of that we did but most we didn't

And why? I just don't know


Satu-persatu titik air jatuh, dan bukan, titik air itu bukanlah rintik hujan. 


Keesokan hari tiba dan aku menjalani keseharianku, berjalan menuju sekolah setelah memakan sarapan yang telah aku buat. Aku masuk ke dalam kelas dan duduk di bangkuku. Tak lama setelah aku sampai, teman sebangkuku, Daniel Min, datang. Tidak biasanya anak ini datang sepagi dan seawal ini, dia masuk 15 menit sebelum bel saja sudah sangat pagi baginya, tapi ini jam 6.05 pagi. Aneh sekali.


“Pagi, Nova!” Dan tentu saja dia akan menyapaku dengan senyumnya yang lebar dan suaranya yang riang. Aku tidak pernah bisa menyamai energiku dengannya, dia selalu penuh dengan energi sepanjang hari sementara aku bahkan tidak memiliki energi untuk bangun dari tempat tidurku. 


“Kok sapaan aku ga dijawab sih?” Bagus, sekarang dia malah memanyunkan mulutnya.


“Iya, selamat pagi juga, Min.”


“Oh iya, Nova, nanti siang kamu free ga?”


“Hmm, iya. Harusnya aku ga ada apa-apa sih. Kenapa memangnya?”


“Kalau aku ajak kamu belajar bareng mau ga? Aku ketemu kafe yang nyaman dan ga rame. Ga jauh kok, cuma 10 menit kalau jalan!” Gimana? Aku diajak ke kafe? Aku? 


“Min, bukannya kamu punya banyak teman ya?”


“Iya sih, tapi ga ada yang sepintar kamu, Nova.”


Gawat, pria ini malah mengatakan hal yang paling membuatku lemah. Iya, aku paling lemah dengan pujian akan kepintaranku. Ya tapi apa boleh buat, dia bukanlah tipe orang yang akan menggangguku saat belajar. Malahan dia selalu bertanya padaku apakah aku sedang sibuk atau tidak saat dia ingin berbicara padaku. Dia pengertian, akan aku akui itu.


“Oke, aku ikut.” 


Dan begitulah awal mulanya. Sekarang kami sedang duduk berhadap-hadapan sambil bercengkrama. Kami membicarakan banyak hal, namun sering kali Min yang selalu membawa maupun melanjutkan topik. Ya mau bagaimana lagi? Aku adalah orang yang pintar dalam akademis namun tidak pintar dalam bersosialisasi. Dan aku bisa bilang bahwa Min adalah kebalikannya, walaupun aku tahu dia tidak akan pernah mengakui bahwa dia tidak sepintar yang dia kira dalam akademis. 

Saat makanan dan minuman yang kami pesan datang, barulah kami memulai sesi belajar kami. Dan jujur saja, sekarang aku paham mengapa dia tidak meminta orang lain untuk mengajarinya.


“Lah, kenapa hasil akhirnya 5?”


“Kan ini logaritma, kita nyari pangkatnya. Ini masih sederhana banget loh, Min.”


“Lah kok jadi 5 per 5? Dari mana?”


“Dari Jogja. Ya dari 1 dong, Min.”


“Kenapa bisa jadi Y? Kan kita nyari f(x)?”

“Ya karena Y itu sama aja dengan f(x), Min!”


“Nova… Aku masih ga paham…”


Siapapun, tolong bawa aku pergi dari sini.

Matahari sudah mulai tenggelam dan pada akhirnya Min sudah mulai paham, namun aku tidak bilang bahwa dia bisa mendapat nilai bagus. Namun satu hal yang pasti adalah rintik hujan mulai turun dan kami belum beranjak dari tempat duduk kami. 


“Yah hujan… Oh iya, Nova suka hujan ga?” Pertanyaan yang dilontarkan Min membuatku tersentak. Tiba-tiba sekali dia bertanya hal random seperti itu. 


“Gimana ya… Aku ga suka hujan, tapi aku suka suara hujan.” Karena suara hujan bisa menyembunyikan suara tangisanku. Tentu saja aku tidak berkata hal itu kepadanya, aku tidak ingin merusak suasana. “Kamu sendiri?”

 

“Hmm, aku suka sama hujan. Karena dulu kecil, bahkan sampai sekarang, aku suka main hujan sesekali. Orang-orang selalu merasa sedih dan bahkan hujan itu sendiri sering dikaitkan dengan kesedihan, namun bagiku hujan itu adalah sebuah kebahagiaan. Tahu ga kenapa, Nova? Karena berkat hujan, tanaman-tanaman di muka bumi ini bisa hidup, hewan-hewan tidak akan kehausan, dan kehidupan di bumi bisa tetap berjalan seperti seharusnya. Eh maaf, aku ngomongnya kayak anak kecil ya? Aku sering dibilang gitu sama teman-teman, aku berbicara layaknya anak kecil.” Aku hanya menatapnya saat dia berbicara panjang lebar.


Aku tidak pernah berpikir seperti itu, tidak, kebanyakan orang tidak pernah berpikir seperti itu. Sekarang ini, orang-orang, termasuk aku, lebih sering melihat hal-hal negatif dari suatu hal daripada melihat hal positifnya. Hujan adalah hal yang sepele menurut banyak oraang, namun bagi Min, hujan adalah suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan. Dan aku hampir menangis ketika aku menyadari betapa menyedihkannya hidupku sampai aku hanya berpikir hal-hal negatif dalam hidupku.


“Gak kok, kamu ga kayak anak kecil. Justru orang-orang kayak kamu yang membuat dunia terasa jauh lebih cerah dan ceria. Terima kasih ya, sudah membantuku mengubah pandanganku.”


“Aku mengubah pandangan kamu? Padahal aku cuma bilang hal sepele loh. Tapi yaudah deh, sama-sama. Aku juga mau berterima kasih karena udah mau menemani aku belajar dan bahkan mengajariku, walaupun pada akhirnya aku cuma paham setengah yang kamu omongin…”


“Hahaha, gapapa kok. Ga semua orang harus pintar dalam segala hal.”


“Oh iya, kalau kita buat ini jadi sebuah rutinitas mau ga? Kalau kamu mau, kita di perpustakaan yang depan sekolah aja, atau–”

“Kalau besok di rumah aku gimana?” Nova, kamu udah gila, ga waras, otaknya hilang. Masa kamu menawarkan Min untuk belajar bareng di rumah kamu? Sudah pasti dia ga mau!

“Rumah kamu nyaman banget, Nova!”


Dia mau. 


“Syukurlah kamu merasa nyaman disini. Sebentar ya, aku ganti baju dulu. Taruh tas kamu di sofa aja.”


Aku masuk ke kamarku dan menutup rapat pintu. Gila, aku sudah gila. Bisa-bisanya dia bilang iya dan bisa-bisanya aku menawarkan! Dia pasti akan canggung banget sama aku dan ini semua salahku! Tidak ada makanan pula di rumah, apa pesan saja ya? Tapi kalau ada tamu ga sopan untuk hanya memberikan makanan delivery. Apa aku masak saja? Tapi waktunya pasti lama dan hanya ada mie instan di rumah. Apa aku masak mie instan saja? Ini lagi lebih ga sopan! Ya sudahlah, aku tanyakan padanya saja bagaimana enaknya.


Aku keluar dari kamarku dan berjalan menuju ruang tamu, dan Min sudah menyalakan laptopnya. Sepertinya dia sedang mengerjakan tugas laporan praktek biologi, dan mengejutkannya adalah dia itu pintar dalam bidang biologi. Min mendengar suara pintu kamarku yang terbuka, lalu dia menatapku dan tersenyum lebar.


“Nova, ayo sini kita kerjain laporan bareng! Aku udah tanya ke PJ Biologi dan dia bilang kalau kita kerjain laporannya sama partner kita praktek tadi.”


Sebenarnya aku ditarik paksa olehnya saat guru biologi mengatakan kalau kita harus berpasangan untuk praktek. Aku kaget, tapi baguslah aku berpasangan dengannya, setidaknya tidak secanggung dengan teman sekelas yang lain. Aku memperhatikan bagaimana dia melakukan praktek, dan dia cukup menakjubkan saat melakukan praktek, aku akan mengakui itu. 

Aku berjalan menuju karpet tempat dia duduk, lalu duduk di sebelahnya. Dan dia sudah setengah jalan dalam mengerjakan bab 1. Aku hanya menatapnya dengan wajah kebingungan, dia menatap balik diriku dengan senyum lebarnya.


“Kenapa? Kaget udah aku kerjain segini? Hehe, aku udah ngumpulin beberapa materi tadi di sekolah, jadinya sekarang kita tinggal masukkin teori-teori sama hasil praktek kita. Sama-sama!” Percaya diri sekali ya langsung bilang sama-sama.


“Jadi, sebagai tanda terima kasihku, kamu mau makan apa?


“Makan orang.”


“Serius.”


“Siapa bilang aku ga serius?”


Pada akhirnya, kami terus-menerus belajar bersama di rumahku selama beberapa minggu ini. Bahkan saat dia tidak ingin belajar pun, dia tetap saja ingin datang ke rumahku. Aku tidak keberatan, namun aku khawatir orang tuanya akan salah paham jika dia terus-menerus berkunjung ke rumahku bahkan sampai matahari tenggelam.


“Orang tuaku ga masalah kok. Mereka malah senang soalnya nilaiku meningkat semenjak kita belajar bareng. Tapi iya sih, aku sempat dimarahi karena pulang terlalu lama. Tapi selebihnya ga masalah kok!” Itu jawabannya saat aku bertanya kepadanya. Ya aku bisa berbuat apa jika dia sudah bersikeras begini?


Lama-kelamaan kami menjadi semakin dekat. Saat pembagian rapor pun, orang tuanya mengajakku untuk berkunjung ke rumahnya sebagai tanda terima kasih karena nilai Matematika nya yang meningkat.


“Asal kamu tahu nak, dari awal dia masuk SMP saja tante tuh sudah menyerah mengajari dia Matematika. Dia selalu ga paham terhadap hal-hal sederhana dan malah menanyakan asal dari rumusnya. Ya tante ga tau dan ga bisa jawab, dan dia malah makin bingung. Tante tuh tipe yang lebih bisa menghafal, sementara Min ini mau nya paham asal dari rumus itu. Aduh, pokoknya terima kasih banget loh nak sudah membuat anak saya dapat 83 di rapor nya. Dulu 78 aja tante sudah beryukur banget!”


Dan pada akhirnya, aku menjadi lebih sering ke rumah Min untuk belajar bersama. Saat hujan turun pun, aku diantar pulang oleh ibunya menggunakan mobil. Ayahnya memang jarang pulang, namun saat beliau pernah melihatku mengajari Min, beliau malah memberiku uang. Bukan 10 ribu, bukan 20 ribu, tapi 200 ribu. Heran, keluarga ini sudah semenyerah itukah dalam mengajari anaknya Matematika? 


Ada suatu saat ketika kami libur dan Min mengajakku untuk berkunjung ke rumahnya. Dan ternyata, keluarganya mengajakku untuk jalan-jalan bersama. Ayahnya, ibunya, dan dia, mengajak aku untuk bertamasya. Aku yang bukanlah bagian dari keluarga mereka. Benar ya, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.


Jujur saja, menjadi sedekat ini dengan Min dan keluarganya membuat kehidupanku menjadi semakin bahagia dan berwarna. Kehidupanku bukanlah lagi sesendu rintik hujan, melainkan secerah matahari setelah hujan berhenti dan seindah pelangi sehabis hujan. Mungkin terkesan berlebihan, namun Min menjadi sumber kebahagiaanku sekarang. Apakah aku jatuh cinta? Mungkin. Namun apakah aku yakin bahwa Min merasakan hal yang sama denganku? Sama sekali tidak. 


Memikirkannya mengingatkanku akan pelangi yang datang sehabis hujan, cerah dan berwarna di kala langit mendung mengelilinginya. Dia indah, senyumnya cerah, kebahagiaannya menyebar ke sekitarnya, dan kepeduliannya membuatnya disenangi banyak orang. Ya, aku bukanlah satu-satunya orang yang dia perlakukan seperti itu, aku bukanlah seseorang yang spesial di matanya.

“Ibu, ayah, aku sudah datang.”


Aku memandangi makam ibu dan ayah yang berdampingan. Aku sungguh merindukan mereka, tapi Tuhan lebih merindukan mereka. Aku menyirami makam mereka dan menanam bunga-bunga indah di makam mereka. Aku membersihkan makam mereka dengan menyeluruh dan memandangi nisan mereka. Oh Tuhan, aku sungguh merindukan mereka.


“Nak, sudah melayatnya? Kita jalan sekarang yuk.”


Aku berjalan bersama ibu Min selama beberapa menit sambil memandangi makam-makam di sekitar kami. 


“Min, aku sudah datang.”


Daniel Min, dia menghembuskan nafas terakhirnya sesaat setelah pengumuman diterimanya kami di universitas impian kami. Dia bahkan belum sempat merayakannya denganku. Seharusnya kami bertemu saat hari Sabtu itu, namun paginya aku dihubungi oleh ibunya bahwa dia sudah dipanggil Tuhan saat dia tertidur. Dia meninggalkan dunia ini dengan sangat damai, ditemani rintik hujan walau langit begitu cerah.


Aku menulis surat untuknya, karena aku ingin mengutarakan hatiku padanya, aku ingin mengatakan bahwa aku cinta padanya. Sayang sekali, Tuhan jauh lebih cinta kepadanya.



Halo, Min. Jujur saja aku tidak pintar merangkai kata, namun aku hanya akan terus terang padamu. Daniel Min, aku jatuh cinta padamu. Aku sudah menyadarinya sejak lama, bahkan sejak kita duduk di bangku kelas 11. Namun, aku seorang pecundang. Pecundang yang tak tahu cara mengutarakan perasaan. Pecundang yang hanya tahu cara bersembunyi. Dan pecundang yang geram ketika melihat orang lain jauh lebih dekat denganmu. Namun, pecundang itulah yang jatuh cinta padamu. Belajar bersama yang sudah menjadi keseharian kita membuat perasaanku makin menjadi. Tolaklah aku jika kau ingin, aku tak apa. Namun kumohon, jangan menjauh dariku. Terimalah aku jika kau ingin. Namun kumohon, jangan pergi dariku. 

Min, berkatmu, aku jadi suka dengan hujan. Klise, namun begitu adanya. Hujan tak lagi membuatku sendu, namun membuatku tenang dan damai. Berkatmu, pandanganku terhadap dunia berubah, dan berkatmu, aku sadar bahwa kehidupan merupakan anugerah. Terima kasih, Min. Dan satu lagi, aku menulis puisi untukmu.


Tak lagi sendu yang kurasakan saat rintik hujan

Karena dirimu mengubah pandangku

Tak lagi diriku merasa sendirian

Karena ada kamu dalam hidupku


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Turning Stress into Your “Secret” Superpower

Artikel oleh Anindya Farahaniya XI-2 (CIRRUS 47) Hai, Sivitas Smansa! Kembali lagi di edisi Blog CIRRUS! Kali ini pembahasannya mungkin cukup familiar dengan apa yang kita alami sekarang, apalagi di masa-masa SMA nih! Pasti seiring berjalannya waktu, beban kita menjadi lebih berat dibandingkan yang sebelumnya kan? Banyak sekali cobaan-cobaan yang dihadapi, ada aja gitu masalahnya. Mulai dari masalah akademis, keluarga, pertemanan bahkan percintaan, rasanya jadi campur aduk dan numpuk aja semuanya menjadi beban pikiran dan mungkin malah berujung stress. Katanya sih masa-masa SMA adalah masa di mana hidup kita jadi super duper roller coaster, banyak plotwist nya! Memang sih hidup harus dinikmati, entah apapun masalahnya kita harus coba untuk hadapi. Tetapi pernah ngalamin gak sih kalau kita itu udah mentok dan buntu banget dengan suatu masalah? Dan jadinya malah bikin stress dan kesehatan mental kita yang terganggu? Nah pas banget blog ini ada untuk memberikan insight tentang hal yang se...

Sparkle Your Way to Success!

 Artikel oleh Queena Dayana X-1 (CIRRUS 48)               Halo, sivitas SMANSA! Kembali lagi bersama blog CIRRUS karya remaja-remaja unik SMANSA! Bagaimana kabarnya, nih, teman-teman semua? Aku yakin teman-teman pasti lagi ngerasa lelah, capek, letih, dan lesu karena SMANSA lagi hectic banget akhir-akhir ini. Meskipun begitu, aku harap teman-teman selalu dalam keadaan sehat, happy, dan luar biasa! Nah, pembahasan blog CIRRUS kali ini, berkaitan dengan ke-hectic-an SMANSA, loh! Waduh, gimana tuh, maksudnya? Teman-teman ada yang bisa tebak nggak, tema blog kali ini tentang apa? Tentunya, pembahasannya nggak jauh-jauh dari problematika yang dihadapi oleh remaja di masa-masa SMA seperti sekarang! Nah, aku yakin, teman-teman sivitas SMANSA pasti punya mimpi yang besar dan keren, dong! Di dalam dunia yang sekarang semuanya serba cepat dan penuh rintangan ini, kita semua punya mimpi besar, termasuk aku! Tapi, teman-teman pernah bertanya-tanya...

The Art of Social Media: A Teen’s Guide

Artikel oleh Raisha Aulia (CIRRUS 47) Hellour, Sivitas SMANSA!  Balik lagi sama CIRRUS Blog edisi bulan Januari!  Kali ini temanya adalah  “The Art of Social Media: A Teen’s Guide” Sekarang kan udah di tahun 2025, remaja mana sih yang nggak kenal sama media sosial? Dari posting foto sampai ikut trend viral seperti bikin jedag-jedug, trend TikTok, spill outfit , dan yang lainnya. Media sosial udah jadi makanan sehari-hari, terutama buat kita, para remaja. Tapi, meskipun seru dan bisa jadi tempat buat mengekspresikan diri, ada beberapa hal yang perlu kamu perhatikan biar tetap aman dan nggak salah langkah. Kuy, simak beberapa tips dari aku biar kamu bisa main media sosial dengan lebih bijak dan tetap enjoy ! 1. Kenali Platform Media Sosial yang Kamu Pake Setiap platform punya vibe-nya masing-masing loh, jadi penting banget buat tau apa yang cocok buat kamu. Aku sebutin nih beberapa platform yang lagi hits: - Instagram: Tempatnya foto kece dan vid...