"Bener-bener ya, gak paham gue!” terdengar suara sesuatu dibanting ke meja kayu memenuhi ruangan kelas. Duh, kenapa lagi sih?!
“Heh, berisik banget lo. Ini lagi istirahat, jangan ngerusak mood gue dong!” gue berdiri dan menimpuk orang di depan gue dengan tas Aya yang penuh dengan buku-buku tebal: buku pelajaran, roman super tebal, kamus, ensiklopedia… bayanginnya aja udah pusing gue.
“Ra! Sakit, woy!” Tama menatap buas, mengancam akan menimpuk gue dengan tas super berat itu. Hih, salah sendiri. Berisiknya udah ngalahin konser dah, gue menggerutu dalam hati. Dendam kesumat banget sama ini orang dari dulu, serius!
“Pergi jauh-jauh sana, ah. Gue mau menikmati nasi goreng dengan damai,” gue mengibaskan tangan lalu melebarkan tangan layaknya Rose dalam film Titanic. Mendramatisir banget sih emang, tapi kan gue juga mau jadi Rose…
“Eh, eh, ibu lo bikin nasi goreng lagi? Mau dong, Ra…”
Tuh, kan. Udah bikin ribut di kelas, mau ngelempar tas Aya ke gue, masih bisa juga minta bekal gue. Nggak ada akhlak banget deh ini anak.
Esok harinya, teman-teman gue: Aya, Tama (yang ini sama sekali bukan teman), dan Nabil datang ke rumah gue. Tugas kelompok IPS yang diwewenangi Bu Indah lah sebabnya. Nggak tahu kenapa ya, gue punya feeling beliau tuh tahu banget gue sama Aya benar-benar nggak tahan sama kelakuannya Tama. Malah jadi teman sekelompok di tugas ribet kayak begini, lagi!
“Nasi goreng mana nasi goreng,” Tama berlagak mengendus-endus, mencari siapa tahu ada aroma makanan favoritnya dari dapur.
“Ya Tuhan… kelakuanmu rek, rek,” Aya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Masuk rumah orang tuh ucapin salam kek, mana ada yang minta nasi goreng,” Nabil ikut-ikutan menggelengkan kepalanya.
“Udah deh,” gue berdecak sebal. “Kalau berantem terus, nggak kelar ini tugas. Pakai HP lo aja, Ay,” ucap gue sambil meletakkan tas sembarangan. Sumpah, mood gue lagi nggak enak banget hari ini.
“Buat skripnya dulu kali, Mbak. Masa langsung rekam,” suara dalam Nabil terdengar bersamaan dengan dentingan gelas, memadukan suara yang kontras. Kan, sisi puitis gue kambuh…
“Lagian, ngapain sih Bu Indah kasih tugas macam gini? Nggak jelas banget apa tolak ukur penilaiannya,” Tama mulai menggerutu. “Video diskusi tentang memaknai satu peristiwa sejarah Indo? Idih, omong kosong banget.”
“Heh, mulut lo dijaga ya,” sorot mata Aya terlihat berubah. Dia memang satu-satunya anak di kelas gue yang selalu optimis dan berusaha maksimal buat ngerjain tugas. “Memaknai peristiwa sejarah tuh penting, tahu. Kompleksitasnya bikin kita bisa belajar banyak hal.”
“Oh, ya?” intonasi menantang dari Tama terdengar dengan sangat jelas di indra pendengaran gue. Duh… bibit-bibit Perang Dunia III sih ini, gue mengeluh dalam hati. Gue dan Nabil bersitatap, bersiap-siap akan kemungkinan perang mulut yang bakal terjadi kurang dari lima detik lagi. Ish apaan deh, kok gue jadi dramatis gini…
Aya mengangkat kedua bahunya dengan percaya diri dan menjawab, “Ya. Coba kita lihat peristiwa Sumpah Pemuda,” ucapnya dengan nada siap bertempur sambil membuka buku Sejarah. Jari telunjuknya menempel pada foto Kongres Pemuda II, memberikan visualisasi kepada kami bertiga tentang kegiatan kepemudaan itu.
Tiba-tiba, Nabil berbisik memanggil gue, “Amara, Amara!” gue menolehkan kepala dan mengangkat dagu ke arahnya. Dia memberikan kode ke gue buat mulai merekam diskusi tak disengaja ini. Baiklah, semoga tidak ada kata-kata terlarang keluar dari mulut mereka berdua atau akan rumit sekali urusannya (Bu Indah nggak mengizinkan pengeditan video sama sekali, that’s why).
“Kita analisis teksnya aja deh,” Nabil mengambil buku Sejarah milik Aya dan membalikkan halamannya. “Nih,” jempolnya menunjuk baris pertama dari ikrar Sumpah Pemuda.
“‘Mengakoe bertoempah darah jang satu, tanah Indonesia’. Apa coba artinya? Kita harus menumpahkan darah di seluruh tanah Indo gitu?” Tama mendengus, membuang muka.
“Ngawur,” sambar Aya cepat.
“Gini kali maksudnya,” gue memperbaiki posisi duduk lalu melanjutkan, “Lo pada udah nonton episode Squid Game yang tinggal Gi-hun sama Sang-woo, kan? Nah, di permainan itu, tugas Sang-woo sebagai penjaga kan buat mencegah Gi-hun masuk ke area cumi-cumi. Kita ibaratin si kepala cumi-cumi itu negara kita.”
“Analogi lo aneh banget sumpah, Ra,” Nabil menatap gue datar.
“Dih? Udah enak dikasih analogi yang gampang, masih protes juga. Nyebelin amat dah, lo,” gue balas menatap Nabil dengan pandangan mengintimidasi. “Anyway, gue belum selesai. Dengerin dulu, deh.
Nih, ibaratnya Sang-woo tuh, kita, orang yang hidup di Indonesia dan Gi-hun… adalah pengaruh-pengaruh buruk dari luar. Lo lihat kan, betapa penjaga harus benar-benar berusaha buat mencegah penyerang masuk ke area cumi-cumi, apalagi menginjak kepalanya. Karena kalau si penyerang udah menginjak kepala si squid, penjaganya kalah plus mati. Nah, dari sini bisa ditarik kesimpulan: kita sebagai masyarakat Indo, terutama kita kan masih muda nih, harus banget menjaga Indonesia dari segala pengaruh buruk atau ancaman dengan rela mengorbankan apapun yang kita punya plus… mesti pakai full power. Kalau kita biarin nilai-nilai negatif dari luar masuk, budaya-budaya Indo bisa kalah dan lama-kelamaan kita mati, alias terpecah belah.”
“Kece juga tuh perumpamaan lo, Ra,” Aya tersenyum puas. “Menurut gue, pemaparan Amara udah oke dan jelas. Iya kan, Tam?” ha-ha-ha, pertanyaan retorik banget yang lo tanyain, Ay. Mana mungkin si tengil itu mau ngaku (.
“Eh, gue mau coba deh buat kalimat kedua,” Nabil mengajukan diri. Wow, I’m speechless! Oke, mari kita lihat analogi kayak apa yang mau dia buat.
“Hmm… ‘berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia’,” Nabil terlihat berpikir keras, matanya bergerak ke sana kemari seperti mencari harta karun yang hilang 1000 tahun lamanya.
Walau harus menunggu seribu tahun lamanya
(Biarkanlah terjadi) ooh (wajar apa adanya)
Walau harus menunggu seribu tahun lamanya uu-uu-uu
Lah, kenapa muka Tulus jadi ada di depan gue?
“Nih, nih, gue ketemu analogi yang pas,” setelah beberapa lama (ya lama banget, sampai gue nyanyi-nyanyi sendiri dalam hati), akhirnya Nabil mengutarakan opininya, “Coba lihat taman rumahnya Amara deh. Tanamannya ada banyak banget, kan? Nah, keberagaman ciri dan keindahan tiap tanaman itu bersatu, memberi manfaat yang besar banget buat keluarganya Amara, yaitu udara segar tiap pagi.
Sama kayak bangsa kita, yang terdiri dari ribuan suku, jutaan perbedaan, tapi sama-sama tinggal di Indonesia. Masing-masing suku tuh punya coraknya masing-masing, tapi kalau semuanya bersatu padu, saling menghargai dan nggak menyakiti, kita bisa jadi suatu bangsa yang besar dan memberikan kontribusi, manfaat, plus dampak baik not only for this country, but also for the whole Earth.”
Gue, Aya, dan Tama melongo mendengar penjelasan Nabil. Fine, sekarang gue mengakui kemampuan gue menyusun kata-kata berjarak 100 anak tangga di bawah kemampuan dia.
“Woy, lo bertiga kenapa dah?”
“Ehem,” Aya berdeham, langsung mengembalikan gue ke dunia nyata. “Penuturan lo keren, Bil. Sabi tuh lo nulis esai atau artikel di blog.”
“Gila, lo berdua kok bisa dah menstruktur kalimat kayak gitu?” Tama memandang gue dan Nabil secara bergantian dengan takjub. “Keren, serius… mana pernah gue kepikiran analogi macam yang lo berdua bilang.”
Gue tertawa. “Makanya, sekali-kali lo diem kek, amatin apa yang ada di sekitar lo. Makin sering lo lihat apa yang ada di sekeliling lo, kalimat ini pasti mampir deh di pikiran: there’s always other way to see things in our life, nggak bisa kita saklek sama satu cara pandang aja.”
“Tul, tuh,” Nabil mengacungkan kedua jempolnya.
“Omong-omong, Bu Indah kan juga minta kita buat nulis pendapat tentang peristiwa yang dibahas sama teman sekelompok. Berarti pendapat tentang kalimat ketiga lah ya?”
“Yoi,” ucap Tama. “Tentang bahasa, lagi… mati gue.”
“Lebay banget deh, lo,” gue dan Aya memandang Tama dengan dahi mengernyit dan mata menyipit.
“Udah lah, pikirin aja ntar pas udah di rumah,” gue beranjak dari posisi duduk dan meregangkan tubuh. Capek juga ngobrol tentang hal berat gini, apa kabar ya DPR yang harus membahas RUU tanpa henti sampai dicabut lagi? Ups.
“Amara, nasi gorengnya udah siap, nih!” terdengar suara Ibu berseru dari arah dapur.
“Weh, baik juga lo, Ra,” Tama menyeringai.
“Lima puluh ribu per suap, ye.”
Tawa riang segera memenuhi ruangan, lalu suara gedebuk Nabil yang jatuh karena tersandung tas gue terdengar jauh sampai Ibu berteriak histeris dari dapur. Aduh sori, Bil...
Ditulis oleh : Fathma Azzahrah, X IPA 4
Keren Fathmaa :D
BalasHapusgood
BalasHapus